(16) Waktu-waktu Yang Dianjurkan Untuk Bersiwak

Halaqoh 16

Waktu-waktu Yang Dianjurkan Untuk Bersiwak

Oleh

Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto, MA

(Kajian whatsapp fiqh asy syafi’i matnul ghoyah wat taqrib)

————————

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

أَلْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Ikhwan dan akhwat yang saya cintai dan saya hormati, pada kesempatan kali ini kita memasuki halaqoh yang ke-16 dan kita masih melanjutkan tentang hukum siwak dan waktu-waktu yang disunnahkan untuk bersiwak.

Dikatakan oleh Muallif :

Bahwasanya bersiwak pada 3 tempat berikut adalah sangat disunnahkan dan diutamakan.

  1. Sangat disunnahkan untuk bersiwak ketika bau mulut berubah (bau menyengat) dikarenakan azmin (sukūtun thawīl/diam yang lama) atau karena yang lainnya. Bau mulut itu bisa berubah karena lama tidak mengkonsumsi makanan, seperti orang yang berpuasa atau orang yang bangun tidur (nanti akan dibahas tersendiri).Yang jelas, orang yang lama tidak mengkonsumsi makanan biasanya bau mulutnya akan lebih terasa, maka ketika itu disunnahkan untuk bersiwak.
  2. Bau mulut berubah karena hal yang lain, misal seperti mengkonsumsi makanan-makanan yang menimbulkan bau, seperti bawang, daun bawang, bawang putih dan lainnya, terutama yang mentah (tidak dimasak), ini menimbulkan bau mulut yang cukup menyengat. Oleh karenanya, ketika seseorang habis makan makanan yang menimbulkan bau (pete atau makanan lain yang baunya sangat kuat) disunnahkan untuk bersiwak supaya tidak mengganggu orang lain. Bahkan orang yang memakan makanan yang bau seperti daun bawang, bawang merah, bawang putih, itu dilarang oleh Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mendekati masjid.

Kata Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

من أكل من هاتين الشجرتين الخبيثتين ، فلا يقربن مساجدنا فإن الملائكة تتأذى مما يتأذى منه الإنس

Barangsiapa yang makan dari buah daun ini (maksudnya bawang merah dan bawang putih atau daun bawang an bawang) maka janganlah mendekati masjid kami (jangan shalat berjama’ah), karena malaikat yang hadir di masjid (untuk menyaksikan shalat berjama’ah) akan terganggu seperti manusia (juga terganggu oleh manusia yang tidak membersihkan mulut/giginy ketika mau shalat karena baru mengkonsumsi benda-benda yang menyebabkan berubahnya bau mulutnya menjadi tidak sedap

Perlu diperhatikan bahwa termasuk juga bukan hanya bau mulut, tapi bau keringat, bau kaus kaki, bau baju yang lama tidak dicuci ini juga termasuk hal-hal yang mengganggu jama’ah lain dan tentunya malaikat juga terganggu.

Oleh karena itu masalah bau ini diqiyaskan kepada bau-bau yang mengganggu jama’ah yang lain. Kalau dia akan mengganggu oranglain, kekhusu’annya akan terganggu, bahkan kadang-kadang orang ada yang pindah dari samping orang yang bau tadi karena tidak tahan, sehingga shalatnya tidak akan khusyu’. Daripada dia tidak khusyu’ maka lebih baik dia pindah. Ini adalah indikasi bahwa dia tidak layak untuk shalat berjama’ah, bahkan Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang dengan mengatakan “Janganlah dia mendekati masjid kami, ketika seseorang hendak shalat disunnahkan untuk bersiwak.”

  1. Disunnahkan juga untuk bersiwak ketika dia bangun dari tidur. Karena orang yang tidur biasanya bau mulutnya akan sangat kuat karena semalaman dia tidak mengkonsumsi makanan sementara lambungnya terus bekerja.
  2. Seseorang sangat dianjurkan untuk bersiwak ketika dia akan pergi melakukan shalat berjama’ah ke masjid (terutama untuk laki-laki) karena dia akan bertemu dengan banyak orang.

ADAB BERSIWAK
Kemudian adab bersiwak disebutkan ada beberapa adab, yaitu:

  1. Menggunakan kayu arak (ini yang paling bagus).

Kalau tidak ada maka bisa menggunakan apa saja yang bisa menghilangkan kotoran dari gigi seperti sikat gigi, pasta gigi atau semacamnya. Itu juga berfungsi seperti siwak sehingga tidak mengapa dipakai.

  1. Disunnahkan bersiwak mulai dari sebelah kanan karena Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.كان رسول الله يحب التيامن في تطهره وترجله وطهوره وفي شأنه كله

    Bahwasanya Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam senang memulai dari sebelah kanan dalam bersucinya, dalam memakai sisir dan semua urusan (yang berpasangan kanan kiri maka Beliau selalu mendahulukan yang sebelah kanan). Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya.

  2. Disunnahkan bersiwak dari arah atas ke bawah (gigi digosok dari atas ke bawah, bukan dari kanan ke kiri). Karena dengan menggosok dari atas ke bawah itu dia akan membersihkan gigi tanpa merusaknya. Sedangkan kalau menggosok dengan cara melintang akan bisa merusak gusi.
  3. Disunnahkan untuk berkumur-kumur dulu sebelum bersiwak untuk menghilangkan kotoran-kotoran atau sisa-sisa makanan yang ada dimulut.
  4. Disunnahkan membersihkan siwak setelah dipakainya supaya tidak ada kotoran yang tersisa di siwak tersebut yang nanti dapat menimbulkan bau yang tidak sedap.
  5. Disunnahkan anak kecil (anak-anak kita) dibiasakan untuk menggosok gigi, baik dengan menggunakan kayu arak ataupun sikat gigi supaya mereka terbiasa menjaga kebersihan. Sehingga ketika dewasa dia tidak perlu lagi disuruh-suruh atau malas untuk bersiwak yang itu merupakan ajaran yang sangat mulia dari dīnul Islam, syari’at Islam yang sempurna ini.

Demikianlah halaqoh yang ke-16 ini, mudah-mudahan bermanfaat.

بِاللَّهِ التَّوْفِيْقِ وَ الْهِدَايَةِ.
وَصَلَّى اللّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
___________________

Transkriptor : Ummu ‘Abdirrahman

Editor : Dr. Farid Abu Abdillah

http://www.manarussabil.or.id/

(15) Sunnahnya Siwak

Halaqoh 15
Sunnahnya Siwak
Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto, MA
————————

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَسْتَهْدِيْهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ باللّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.

اَللَّهُمَّ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي.

Ikhwan dan akhwat, para peserta kajian fiqh Syafi’i dari kitab Syarh Matan Abu Syujā’ yang dimuliakan Allāh Subhānahu wa Ta’āla

Pada pertemuan kali ini kita akan lanjutkan pembahasan tentang penggunaan siwak dalam membersihkan mulut kita.

Siwak secara bahasa adalah menggosok (الدلك). Siwak juga digunakan/diithlaqkan  untuk alat yang dipakai untuk menggosok gigi.  Kalimat as siwāk juga digunakan untuk perbuatan “menggosok gigi”. Siwak (melakukan gosok gigi) bisa menggunakan alat apa saja yang agak kasar yang bisa membersihkan kotoran yang ada pada gigi.Namun yang paling baik, siwak itu menggunakan kayu arak (semacam akar dari pohon arak yang banyak tumbuh di daerah gurun pasir). Akar ini ketika dipotong maka didalamnya ada serat yang sangat halus, lebih halus dari bulu sikat gigi. Keistimewaan pohon arak ini memiliki zat-zat yang sangat bermanfaat untuk gigi, menguatkan dan melindungi gigi dan menguatkan gusi dari pendarahan dan kerusakan. Oleh karena itu Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menggunakan kayu arak ini sebagai alat untuk bersiwak. Pada hakikatnya siwak adalah perbuatan untuk membersihkan gigi tersebut. Oleh karena itu, sekalipun tidak menggunakan kayu arakpun, sunnah ini bisa kita lakukan.

Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq, dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, Beliau bersabda:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak bisa membersihkan mulut dan menyebabkan keridhaan Allāh

Oleh karena itu, siwak hukumnya sunnah. Dan Muallif mengatakan: Membersihkan (menggosok) gigi dengan siwak hukumnya sunnah pada setiap keadaan. Dengan demikian kapanpun kita menggunakan siwak itu hukumnya sunnah.

Dalam madzhab Syafi’i, apabila telah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa itu hukumnya tidak sunnah lagi, tetapi makruh. Jadi apabila ada orang berpuasa maka sebaiknya dia tidak gosok gigi setelah lewat tengah hari atau setelah tergelincirnya matahari. Apa alasan madzhab Syafi’i mengambil hukum tersebut?

Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwasanya Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Bau mulutnya orang yang berpuasa itu lebih harum (nanti baunya) disisi Allāh dari minyak misk”

Dan bau mulut orang puasa biasanya mulai menguat setelah tergelincir matahari. Oleh karena itu, setelah tergelincir matahari orang yang berpuasa tidak perlu membersihkan gigi lagi karena bau mulutnya akan sangat harum di akhirat kelak disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebagai balasan akan ibadah yang ia lakukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini sebagaimana orang yang mati syahid kemudian dia terluka, maka itu nanti di akhirat akan dirubah oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

َاللَّوْنُهُ لَوْنُهَا الدَّمِ وَالرَّائِحَةُ رَائِحَةُ الْمِسْكِ

Orang yang terluka di medan perang dan mati syahid maka dihadapan Allāh akan menghadap dengan luka yang ada seperti didunia (darah berwarna merah) namun baunya sangat harum karena luka itu  disebabkan perjuangan untuk membela agama Allāh

Meskipun madzhab berpendapat tentang makruhnya bersiwak setelah tergelincir matahari, namun hal ini dibantah oleh Imam An-Nawawi. Imam An-Nawawi adalah seorang mujtahid besar juga dalam madzhab Syafi’i dan dalam masalah ini beliau juga menyelisihi imamnya. Beliau mengatakan bahwasanya bersiwak secara umum itu sunnah, baik sebelum maupun setelah tergelincir matahari karena tidak ada dalil yang khusus tentang pelarangan tidak bolehnya seseorang itu bersiwak setelah tergelincirnya matahari.

واختار النووي عدم الكراهة مطلقاً

Imam An-Nawawi memilih bahwa tidak makruh secara muthlaq bagi orang yang berpuasa baik sebelum maupun sesudah tergelincir matahari sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmū’ juz 1 hal 269 dan Minhājuth Thalibīn hal 35

Demikian yang terkait dengan sunnahnya siwak dan madzhab Syafi’i dalam masalah ini.

Terima kasih

بِاللَّهِ التَّوْفِيْقِ وَ الْهِدَايَةِ.
وَصَلَّى اللّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
___________________

Transkriptor  : Ummu ‘Abdirrahman
Editor              : Farid Abu Abdillah

http://www.manarussabil.or.id/

(52) FARDHUNYA TAYAMMUM

🎬 Halaqoh 52
📜 Fardhunya Tayammum
🔊 Oleh Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto, MA
—————————–
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و على آله و صحبه أجمعين

اَللَّهُمَّ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي.

Ikhwah wal akhwat para peserta kajian fiqh yang dimuliakan Allāh, pad kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang tayammum dan pada halaqah yang ke-52 ini kita masuk ke bab “Fardhunya tayammum”

((و فرائضة أربعة أشياء: النية، و مسح الوجه، و مسح اليدين مع المرافقين، والترتيب))

Dan fardhu/rukunnya tayammum ada 4 macam:

⑴ NIAT

Kita tahu bahwasanya tayammum pengganti wudhū’ dan dia merupakan ibadah yang disyaratkan padanya niat karena Allāh semata.

Kita tahu bahwasanya niat adalah keinginan hati untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwasanya niat tempatnya di dalam hati.

Niat sangat menentukan diterima atau tidaknya sebuah amal, karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amal perbuatan seseorang tergantung kepada niatnya dan seseorang akan mendapatkan pahala dan balasan dari ibadahnya dan amalannya tergantung dari niatnya.

Apabila niatnya karena Allāh maka in syā Allāh akan diterima dan apabila niatnya karena selain Allāh maka akan mendapatkan siksa karena niat untuk selain Allāh termasuk syirik kecil (riyā).

Dalam niat ini kita tentukan dalam hati kita bahwa kita akan melakukan tayammum sebagai pengganti wudhū’.

Adapun pelafazhan niat seperti yang sering kita dengar misal:

· “أصلي فرض الصبح”
· “نويت الوضوع”
· “نويت التيمم لرفع الحدث الأصغر أو أكبر بدلا عن الوضوع أو الغسل”

Pengucapannya tidak ada dasarnya sama sekali, tidak ada dalil yang shahīh dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, apalagi dalam Al-Qurān atau perkataan para shāhabat dan tābi’īn. Kita tahu bahwasanya dalil itu adalah dari Al-Qurān ataupun Sunnah atau Ijmā’ ulama/shāhabat dan kita tidak pernah dapati dari riwayat tersebut.

Oleh karena itu asalnya niat adalah di dalam hati dan tidak dilafazhkan.

⑵ MENGUSAP MUKA

Mengusap muka ini menggunakan debu yang telah kita tempelkan pada tangan kita.

Pertama, kita siapkan debu yang suci, kemudian tangan kita ditepukkan ke debu tersebut, kemudian ditiup agar debu-debu yang besar atau kerikil-kerikil kecil jatuh dan yang tersisa hanya debu yang lembut atau diusapkan tangan satu dengan yang lainnya supaya debu-debu yang besar berjatuhan. Kemudian diusapkan ke wajah kita.

Tentang pengambilan debu ini apakah 1 atau 2 kali pengambilan maka ulama berbeda pendapat;

· PENDAPAT PERTAMA ·
Dalam tayammum, seseorang itu memukulkan ke debu sebanyak 2 kali. Tepukan pertama untuk muka dan tepukan kedua untul kedua tangan.

Ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, Maliki dan Syāfi’i. Dan juga merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Jābir bin ‘Abdillāh dan beberapa kalangan Tābi’īn seperti Salim bin ‘Abdullāh, Al-Hasan Al-Bashri, As-Sa’di, An-Nakha’i dan yang lainnya.

Dalil:
Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā berkata: Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ, وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى اَلْمِرْفَقَيْنِ

“Tayammum itu 2 kali pukulan, 1 kali pukulan tangan ke debu untuk muka dan pukulan yang kedua untuk tangan hingga ke siku.”

Disini disebutkan bahwa mengusap tangan sampai siku. Namun sayangnya hadits ini ada kelemahannya dan dikatakan dha’īfun jiddan (sangat lemah).

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā dan didalam hadits ini ada Al-Huraisy, Al-Huraisy ini dilemahkan oleh Ibnu Hajar dan yang lainnya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imām Ath-Thabrāni, Imam Dāruquthni dan Hakīm, namun semuanya diambil dari Ibnu ‘Umar dan didalamnya ada seorang perawi yang bernama ‘Ali bin Dhabyan. Imām Bukhari mengatakan ‘Ali bin Dhabyan ini orang yang munkarul hadīts (haditsnya munkar). Dan Imām An-Nasā’i mengatakan ‘Ali bin Dhabyan ini matrūk (haditsnya ditinggalkan)

[Lihat Silsilah Al-Ahādīts Adh-Dha’īfah karya Syaikh Al-Albani rahimahullāh]

Jadi, hadits ini terancam lemah yang dijadikan sandaran bahwasanya tayammum itu 2 kali pukulan.

Dalil lain yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar Bin Yāsir bahwasanya dia mengatakan:

أنه كان يحدث أنهم تمسحوا وهم مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصعيد لصلاة الفجر، فضربوا بأكفهم الصعيد ثم مسحوا بوجوههم مسحة واحدة، ثم عادوا فضربوا بأكفهم الصعيد مرة أخرى، فمسحوا بأيديهم كلها إلى المناكب والآباط، من بطون أيديهم

Dia menceritakan tayammum yang pernah dilakukan oleh para shāhabat dan mereka waktu itu bersama Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, mereka menepukkan tangan ke debu kemudian bertayammum untuk shalat Fajr. Kemudian mereka mengusap muka-muka mereka satu usapan, kemudian mereka memukulkan lagi telapak tangan mereka ke tanah, kemudian mengusapkan lagi ke tangan-tangan sampai ke pundak dan ketiak dengan menggunakan bagian dalam dari tangan mereka.

Hadits shahih diriwayatkan oleh Abū Dāwud, An-Nasā’i, Ahmad dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Imam Al-Albani rahimahullāh.

Disebutkan dalam hadits bahwa ‘Ammar bin Yāsir menceritakan para shāhabat waktu bertayammum 2 kali pukulan dan mereka mengusap muka 1 kali dan mengusap tangan-tangan mereka bukan hanya sampai siku tetapi sampai bagian pundak dan ketiak mereka.

Namun tidak ada penyebutan dalam hadits ini bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh mereka seperti itu. Itu hanya perbuatan shāhabat yang berijtihad masing-masing sebagaimana ‘Ammar bin Yāsir pernah berijtihad ketika junub beliau berguling-guling ditanah untuk tayammum pengganti mandi, itu adalah ijitihad beliau yang keliru.

Kemudian disebutkan bahwasanya beliau melakukan hal itu karena belum dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang bagaimana cara bertayammum.

Sekalipun hadits ini shahīh tetapi penunjukannya terhadap cara tayammum tidak kuat karena memang tidak ada perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk melakukan hal tersebut.

· PENDAPAT KEDUA
Cara tayammum cukup 1 pukulan.

Dan ini merupakan pendapat madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh dan mayoritas ulama ahli hadits. Dan ini dikatakan juga oleh Sa’īd Ibnul Musayyid dan Imām Al-Auzā’i dan Ishāq Ibnu Ruhawaih dan dipilih oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm Azh-Zhāhiriy.

Dalil:
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar bin Yāsir juga

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ، قَالَ : ” سَأَلْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ التَّيَمُّمِ ، فَأَمَرَنِي ضَرْبَةً وَاحِدَةً لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ ” 

Dia berkata: Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang tata cara tayammum maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruhku untuk memukulkan tanganku 1 kali untuk muka dan kedua telapak tangan.

Hadits ini menyebutkan bahwa pukulannya 1 kali dan hanya muka & telapak tangan saja, tidak sampai ke siku apalagi sampai ke pundak.

Hadits ini shahīh diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwud dan Imām Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abū Dāwud.

Jadi, pendapat kedua adalah tayammum itu 1 pukulan kemudian ditiup atau diusap untuk diusap ke muka 1 kali dan kedua tangan 1 kali.

Ada hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Ammar bin Yāsir, dalam hadits itu disebutkan:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Berkata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika ‘Ammar bin Yāsir berguling-guling (Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberitahukan tentang cara tayammum yang benar). Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memukulkan dengan kedua tangan Beliau ke tanah lalu Beliau tiup telapak tangannya (supaya debu-debu yang besar berjatuhan) kemudian Beliau mengusap dengan kedua tangan tadi ke muka dan kedua telapak tangannya.

وفى رواية «إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً»

Dan dalam sebuah riwayat: Tidak lain ketika tayammum itu kamu cukup begini dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengusap mukanya dan kedua telapak tangannya hanya 1 kali.

(HR. Bukhari, hadits shahih)

Dengan demikian, kita bisa tahu bahwasanya kedua pendapat ini berbeda, yang pertama bahwa tayammum 2 kali pukulan dan yang kedua 1 kali pukulan.

Namun, dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits dha’īf. Dan dalil pendapat kedua penunjukkannya tidak jelas sejelas hadits yang dipakai oleh ulama pendapat kedua yaitu haditsnya shahih dan penunjukkannya sangat jelas.

Oleh karena itu, yang shahih bahwasanya tayammum itu cukup 1 kali pukulan ke tanah untuk diusapkan ke muka dan kedua telapak tangan dan tidak sampai ke siku.

Adapun yang berpendapat mengusap debu sampai siku maka itu hanya menggunakan analogi/kiyas (kiyāsun ma’al fāriq: analogi masalah yang berbeda) yaitu mengkiyaskan tayammum dengan wudhū’ padahal keduanya cara dan alatnya beda.

Oleh karena itu, perkataan Muallif kitab ini (Abū Syujā’) yang mengatakan bahwasanya fardhu wudhū’ yang ketiga yaitu mengusap kedua tangan hingga ke siku ini pendapat yang lemah karena tidak ada dasar yang shahih dari hadits yang shahih.

Allāh berfirman dalam masalah wudhū’:

فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Dan basuhlah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku.” (Al-Māidah 6)

Disini jelas bahwa membasuh tangan sampai siku.

Adapun dalam tayammum, Allāh berfirman:

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“Dan usaplah muka dan tangan kalian.” (An-Nisā 6)

Dan tidak menyebutkan إِلَى الْمَرَافِقِ (sampai kesiku), ini menunjukkan bahwa wudhū’ dan tayammum itu berbeda.

Kemudian ketika disebutkan وَأَيْدِيكُمْ maka أيدي secara mutlak adalah telapak tangan, sebagaimana firman Allāh:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah 38)

Jadi pencuri dipotong hanya telapak tangannya saja, bukan sampai siku apalagi sampai ke bahu.

Fardhu/rukun tayammum yang terakhir;

⑷ TARTIB (URUT)

Urutan tayammum harus urut, tidak boleh dibalik, tidak boleh tangan dulu baru muka.

Demikian yang bisa kita bahas tentang fardhunya tayammum.

بالله التوفيق و الهداية
و صلى الله على نبينا محمد صلى الله و على أصحابه أجمعين
——————————
📝 Ditulis Tim Transkrip dari kajian Fiqh syafi’i matan abu syuja’ oleh Ustadz Eko Abu Ziyad di grup whatsApp
👉 Kunjungi kami di http://www.manarussabil.or.id

(51) TAYAMMUM 2

🎬 Halaqoh 51
📜 Tayammum (bagian 2)
🔊 Oleh Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto, MA
—————————–
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله و كفى والصلاة والسلام على النبي المصطفى نبينا محمد صلى الله عليه و على آله و صحبه أجمعين

Ikhwah wal akhwāt a’āzaniyallāhu wa iyyākum ajma’īn, pada kesempatan kali ini kita memasuki halaqah ke-51 meneruskan halaqah sebelumnya yaitu pembahasan tentang “Syarat-syarat tayammum.”

Pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas 2 syarat dari syarat-syarat tayammum yaitu:
❶ Adanya udzur dalam penggunaan air untuk berwudhū’ karena dia musafir atau karena sakit yang tidak mampu menggunakan air.
❷ Harus masuk waktu shalat. Jadi seseorang tidak boleh bertayammum sebelum waktu shalat itu datang dan masuk.

Yang belum kita bahas adalah;

(وطلب الماء)

❸ Tidak langsung tayammum, dia harus mencari air terlebih dahulu hingga benar-benar tidak mendapatkannya. Kalau sudah berusaha tetapi tidak mendapatkan air maka baru dia boleh bertayammum.

((وتعذر استعماله و إعوازه بعد الطلب))

❹ Mungkin ada air, namun tidak mampu menggunakannya (misal karena dia sakit, terluka, airnya sangat dingin jika dipakai akan sakit dan lainnya) dan kesusahan untuk mendapatkannya setelah mencari dan berusaha mendapatkannya.

Atau air itu ada akan tetapi tidak bisa menggunakannya karena didekat air tersebut ada musuh yang menguasai tempat air, sehingga sulit untuk mengambilnya.

Atau disana ada binatang buas yang kalau kita mendekat mungkin akan menyerang kita sehingga kita kesulitan atau terancam nyawanya.

((والتراب الطاهر الذي له غبار فإن خالطه جص أو رمل لو يجز))

❺ Debu yang suci atau tanah yang suci yang berdebu, artinya bukan tanah basah namun tanah yang berdebu. Jika debu tersebut bercampur dengan tanah gamping/tanah kapur atau pasir maka tidak boleh digunakan.

Ini yang ditaqrirkan oleh ‘ulama Syāfi’iyyah.

Namun yang benar bahwasanya muhaqqiqīn dari kalangan ‘ulama Syāfi’iyyah membolehkan dan itu termasuk yang difatwakan oleh mereka, seperti yang disebutkan dalam kitab Raudhatuth Thālibīn jilid 1 hal 222 yaitu mengatakan bahwasanya fatwa dalam madzhab Syāfi’i membolehkan menggunakan debu yang bercampur dengan gamping/tanah berkapur meskipun bercampur dengan pasir.

Itu semua dibolehkan untuk bertayammum karena memang tidak ada dalil yang melarang tanah yang digunakan harus tanah murni atau debu murni yang tidak bercampur dengan yang lainnya.

Jelas tidak ada larangan, hukum asalnya adalah boleh karena debu yang suci secara umum adalah yang tidak tercampur dengan najis. Kalau bercampur dengan pasir atau tanah kapur maka tidak mengapa karena tidak najis.

Bahkan di jazirah Arab hampir semua tanah itu berpasir jadi kalau seandainya tidak boleh tanah yang digunakan bercampur dengan pasir maka akan mempersulit kaum muslimin.

Adapun debu yang sudah pernah dipakai untuk tayammum, pada hukum asalnya adalah tidak boleh dipakai lagi, sebagaimana air yang telah dipakai untuk berwudhū’ dipakai berwudhū’, dia suci tetapi tidak mensucikan.

Demikian yang bisa kita bahas tentang syarat-syarat tayammum, mudah-mudahan kita bis memahaminya dan tentunya mempraktekkanya dalam kehidupan sehari-hari apabila syarat-syaray tayammum itu ada pada diri kita.

Terima kasih atas perhatiannya.

بالله التوفيق و الهداية
و صلى الله على نبينا محمد صلى الله و على أصحابه أجمعين
——————————
📝 Ditulis Tim Transkrip dari kajian Fiqh syafi’i matan abi syuja’ oleh Ustadz abu ziyad di grup WhatsApp
👉 Kunjungi kami di http://www.manarussabil.or.id